Pernikahan Dini

Pernikahan dini

Bukan cintanya yang terlarang

Tapi waktu belum tepat….


Sungguh, sebenarnya telah lama aku merasa heran. Mengapa ada begitu banyak orang merasa takut untuk menikah. Bahkan ada yang memutuskan untuk tidak menikah sama sekali. Ada yang beralasan belum ketemu jodoh yang tepat. Ada juga yang berkata sebenarnya mau sekali, tapi yang bersedia meminangku tak ada?


Aku juga tidak tahu apa memang benar seperti itu, atau mereka yang menciptakan situasi semacam itu. Takut? Apa yang harus ditakutkan dari pernikahan? Pernikahan bukanlah penjara yang menakutkan seperti yang dibayangkan sebagian wanita. Bukan juga rumah yang tak berjendela, yang membuat penghuninya tak mampu melihat dunia.


Tapi pernikahan adalah media untuk beribadah. Sebab dengan menikah akan menyempurnakan separuh dari keimanan kita. Menikah juga menentramkan hati, sebab ada yang bisa diajak berbagi. Menikah juga berarti ada rumah yang hendak kita tuju saat kita tak tahu harus kemana.


Memang pernikahan tak selalu seindah yang dibayangkan. Tapi bukankah memang hidup tak selamanya indah. Manis, pahit, asam dan getir hanyalah sebagian rasa. Sama seperti merah, hijau, biru atau kuning, hanyalah sebuah warna yang tentu saja akan menambah indah sebuah lukisan.


Perbedaan tak harus membuat kita berselisih, tapi membuat kita semakin kaya. Bukankah panci dan tutupnya tidaklah sama? Meski begitu mereka bisa menjadi pasangan yang sempurna. Bukan masalah besar atau kecilnya perbedaan, tapi pernikahan adalah bagaimana meminimalkan konflik. Menjaga hati agar tidak saling melukai. Menata diri untuk saling menghargai.


Bukan usia yang menentukan kedewasaan seseorang untuk menjadi patokan untuk menikah. Bukankah semua putri Rosullulah menikah diusia muda, yaitu saat mereka telah mendapatkan menstruasi pertama mereka. Kecuali Fatimah Azzahra, dia menikah diusia 14 tahun karena harus bertugas menjaga ayahnya setelah ibundanya berpulang ke Rahmatullah. Baru setelah Rosullulah menikahi Aisyah, Fatimah menikah dengan Ali bin Abuthalib. Semua putri Rosullulah bisa menjalani pernikahan mereka dengan bahagia, meski tak sedikit aral yang melintang. (Silahkan baca selengkapnya di buku “Putri-Putri Rosullulah”.)

Pernikahan dini bukanlah suatu mimpi. Tapi sesuatu yang bisa kita kerjakan dan kita wujudkan. Yang kita butuhkan hanyalah ilmu agar bisa mencapai keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah. Karena hanya dengan itu pernikahan yang dicontohkan Rosullulah bisa kita jalankan.


Dan yang terpenting dari semua itu adalah niat diri memasuki pernikahan. Niatkan semua itu hanya untuk beribadah pada Allah. Segala ujian adalah kehendakNya agar kita lebih dekat kepadaNya. Tak ada masalah yang tak terselesaikan asal kita mau kembali padaNya. Bukankah semua masalah Dia yang berikan pastinya Dia juga yang tahu semua jawabannya.


Pernikahan dini adalah solusi hati yang rindu tetapi takut untuk bermaksiat. Maka janganlah kita takut untuk menikah di usia dini….!!

A Little Girl

Gadis kecil itu, dengan segala yang ada padanya, mengingatkanku akan aku dimasa kecil dulu. Betapa tidak? Dia begitu pemarah dan sensitive, begitu kuat dan destruktif. Tak pernah bisa diam selalu saja bergerak. Tak ada satupun yang akan luput dari pandangannya.

Aku diwaktu kecil, sama seperti dia, begitu pemarah dan sensitive. Aku sungguh tak mau ada orang yang melecehkan atau merendahkanku. Menganggapku tak berdaya atau tak punya kemampuan. Aku akan berusaha semampuku untuk membuktikan bahwa aku tak sama dengan yang dipikirkan orang lain. Meski harus berkelahipun akan kejalani. Tak perduli itu anak kecil, orang dewasa, laki-laki ataupun perempuan akan ku lawan. Siapapun yang berusaha menghalangiku pasti akan mendapatkan perlawananku.

Aku tak tahu kenapa aku seperti itu. Aku hanya tak suka ada orang yang merendahkanku. Mungkin saja karena aku merasa tak istimewa seperti saudara kembarku yang begitu manis dan disukai banyak orang. Mungkin aku hanya ingin diperhatikan dan dianggap istimewa. Aku berusaha keras agar dianggap ada. Ya…mungkin saja seperti itu.

Tapi mungkin tidak begitu dalam pandangan orang lain. Mereka mengganggapku teramat menyebalkan, sembrono, egois dan tak tahu diri. Aku sendiri tak tahu, hanya saja aku diwaktu kecil merasa tak ada arti.

Hingga membuatku harus menciptakan pribadi yang harus bisa bertahan dari semua pandangan. Aku membangun tembok yang tinggi untuk melindungiku dari cemoohan dan makian orang lain. Aku harus mencurigai tiap orang yang ada disekelilingku. Aku juga harus menghadapi kejahilan teman-teman sekolahku yang usianya jauh lebih tua dariku. Maklumlah dulu anak-anak didesaku bersedia belajar ketika usianya telah lewat usia masuk sekolah. Mungkin hanya keluargakulah yang masuk sekolah diusia 7 tahun.

Anak laki-laki di kelasku rata-rata usianya 3-4 tahun diatasku. Tentu saja hal itu menyebabkan rawannya pelecehan seksual. Anak perempuan dikelasku terbiasa dicolek, disingkap roknya, dipegang pantatnya, bahkan ada juga yang berani mencium atau memegang alat vitalnya. Teman-temanku biasanya akan menangis jika diperlakukan seperti itu.

Tapi aku tak mau menangis. Aku harus mengahadapi kejahilan mereka. Aku harus melindungi diriku sendiri. Aku belajar beladiri sebisaku dengan melihat gerakan-gerakan yang biasa dipraktekan kakak laki-lakiku. Begitulah, tiba-tiba saja aku jadi jago berkelahi dengan anak-laki-laki.

Tapi guruku tak menyukai itu. Pasti aku kan dimarahi dan dihukum. Karena tak pantas seorang anak perempuan berkelahi.Tak ada yang bertanya kenapa aku berkelahi. Tak ada yang mau tahu jika aku berusaha mempertahankan diriku dan melindungi saudara kembarku dari kejahilan-kejahilan teman-temanku. Mungkin alasanku tak begitu penting bagi mereka.

Begitulah, karena pendapat yang berbeda itu aku sampai meludahi wajah guru SD-ku dan melempar kepalanya dengan batu. Waktu itu aku hanya merasa betapa guruku tak mau mengerti akan diriku. Dia hanya melihat sesuatu dari luarnya saja. Dia juga tak bertanya padaku mengapa aku berlaku seperti itu. Otak kecilku akhirnya berfikir bahwa dia adalah orang yang patut dilawan dan diberi pelajaran. Akibatnya aku harus berdiri didepan kelas hingga peajaran usai.

Tapi waktu itu aku tak menyesal sedikitpun. Karena aku tak merasa bersalah jadinya aku juga tak bersedia untuk mengakui kesalahanku dan meminta maaf pada guru SD-ku tersebut.

Aku terus berada dalam keadaan tersebut hingga aku masuk SMP. Akibatnya aku tak punya teman. Semua anak merasa takut denganku. Tentu saja dulu aku termasuk langganan dipanggil ke ruang BP (Bimbingan dan Penyuluhan), atau mungkin sekarang namanya BK (Bimbingan Konseling). Sampai-sampai kakak dan saudara kembarku tak mau mengakui sebagai adik atau saudaranya. Mungkin mereka merasa malu mempunya adik yang suka bikin onar di sekolah.

Untungnya guru olah raga dan kesenianku begitu memahamiku. Mereka tak pernah membiarkanku menganggur tak mengerjakan apapun. Sebab jika begitu, jika tidak menggangu anak yang lain pastilah aku akan berkelahi dengan anak yang menggangguku.

Guru olah ragaku melatihku bulu tangkis, berenang dan atletik yang memang merupakan bidang yang aku sukai. Mungkin menurut beliau, dari pada energiku habis untuk hal-hal yang negatif lebih baik dipakai untuk hal-hal yang bermanfaat. Aku selalu diikutkan dalam semua lomba yang berkaitan dengan olah raga. Aku akan senang sekali jika dapat memenangkan suatu kompetisi. Meski aku tahu, hanya guru olah ragaku yang bangga akan prestasiku, tapi aku tak perduli. Setidaknya aku telah membuat orang lain menghargai usahaku.

Demikian juga dengan guru kesenianku. Selain cantik, dia juga sangat memahamiku. Dia bilang anak ceroboh dan urakan sepertiku harusnya tak bisa mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan seni. Tapi aku berbeda, meski aku jago berkelahi, aku juga ahli dalam menjahit, menyulam, menari dan sedikit bisa bernyanyi. Jika ada festival seni, pastilah aku yang akan dikirim utuk mewakili sekolahku.

Meski tak ada yang merasa bahwa aku punya kelebihan, tapi setidaknya aku telah berkarya dan pernah mewakili sekolahku dalam sebuah even perlombaan ataupun festival seni.

Semua orang tetap tak perduli. Hingga suatu ketika ibuku pulang dari kontar cabang Dinas di kecamatan kami. Beliau bercerita bahwa teman kantornya pernah melihatku menari. Teman ibuku juga berkata betapa pandainya aku menari, begitu menjiwai serasa tarian itu hidup dalam diriku. Karena aku punya mata yang cukup lebar, jadilah mataku seperti bercahaya tertimpa kilauan sorot lampu panggung, begitu cantik, kata teman ibuku.

Baru kali itu aku mendengar ibuku bercerita dan membicarakan diriku dengan nada bangga. Kemudian aku merasa bahwa aku telah ada, kini orang lain bisa melihatku. Aku kecil merasa sangat senang sekali. Ahh…senangnya, aku bahagia…! Hingga membuatku semakin bersemangat untuk berkarya. Semakin rajin belajar agar semakin banyak orang yang mau melihatku. Bukan sebagai anak yang suka berkelahi dan bikin onar, tetapi sebagai anak yang berprestasi.

Aku tidak tahu, apakah ada yang bisa memahami gadis kecil itu. Apakah ada yang bertanya apa yang tengah difikirkannya? Apakah ada yang berusaha tahu bahwa ia ingin dianggap ada? Apakah ada yang tahu bawa dia juga punya kelebihan dibalik sikap melawan yang ditunjukkannya itu?

Wahai gadis kecil, terusah berjuang. Semoga ada yang mau melihatmu, melihat sinar yang kau miliki. Jangan biarkan hal buruk mengikatmu hingga tak bisa membuat dunia tersenyum padamu.

Wahai guru, lihatlah dia, pahami dia dan temukan sesuatu yang istimewa dalam dirinya. Dia butuhkan dirimu untuk membantunya keluar dari dunia yang mengungkungnya saat ini. Wahai guru ulurkan tanganmu padanya. Bantu dia mengerti bahwa ada hal-hal yang indah diluar sana untuk dilihatnya lewat mata kecilnya…..

Puisi Enno

Hari ini tiba-tiba Q teringat ama puisi seorang teman lama Q namanya Enno. Jika tidak salah seperti ini….

Ku tatap kau…

Dengan seribu basa,

Tapi sia-sia

Kiranya tak pernah ada aku

Di hatimu

Hingga kiranya cuma kusayat…

Cintaku buat illusi semu

(maaf No jika ada penulisan yang salah, dah 14 tahun sih…!)

Q begitu menyukai puisi dia sejak dulu. Q ngerasa dia keren banget, karena dia gak pernah katakan cinta dia sama orang yang dia suka, kalo gak salah namanya Rifqi, kakak kelas kami di SMA. Dia hanya ngerasa bahagia bisa ngeliat orang yang disayanginya bahagia. Baginya cinta gak butuh kata-kata, karenanya cinta gak perlu dikatakan. Dia bilang kadang mengatakan cinta bisa merugikan, karena debar didada akan berkurang, sedang getaran hati begitu indahnya saat bertemu dengan orang yang disayanginya itu.

Dulu Q gak tahu apa maksudnya, dan tentu aja gak setuju dengannya. Tapi sekarang sejak Q menikah Q tahu emang cinta gak butuh kata-kata, cinta hanya perlu tindakan yang nyata. Rasa sayang hanya bisa dilihat dari sikap seseorang pada kita. Bagaimana dia care ama perasaan kita, bagaimana dia perhatikan apa yang Qta suka ataupun tidak, bagaimana dia berusaha penuhin harapan Qta, atau bagaimana dia memperlakukan kita.

Kadang hanya dari tatap mata kita juga bisa tahu apakah seseorang benar menyayangi kita atau tidak. Karena emang mata adalah jendela hati. Selamanya mata tak akan pernah bisa berbohong. Cinta akan membuat mata seseorang berbinar seakan-akan menyimpan ribuan bintang disana. Begitu terang, hangat dan mempesona. Duh…indahnya!

Bilah-Bilah Hati Yang Terberai

Aku terjatuh, tersungkur…

Dalam kelamnya hati yang tak berujung,

Lara hati..

Bagai alunan lagu dipagi hari

Lirih, namun pasti…

Menyayat keping-keping naluri

Berderai, menetes satu persatu

Berdiri,

Harus tegak kembali

Menggenggam angan berwarna unggu

Tak kan bisa membuatnya menjadi biru.

Merah, jingga dan nila

Tak lagi terasa sama

Matahari juga semakin tinggi,

Jika tak bergegas

Nyalanya semakin membakar ulu hati

Bernyanyilah…

Lagu sendu tak cocok untukku

Tertawa, menari, berlari,

Menyadarkan akan segala kebodohan nurani….!!!

(Sore di kotaku, 15 Feb 2008)

Me? Just an Ordinary Mother!!

Semua orang sering mengeluh betapa merepotkannya menjadi seorang ibu. Mereka mengeluh tak punya waktu untuk memanjakan diri sendiri, menekuni hobby yang dulu disukai, atau hanya sekedar memejamkan mata tuk lepaskan penat yang meraja sepanjang hari-hari yang dilewatinya.

Q sangat memahami kesumpekan mereka, karena Q juga seorang ibu. Tapi Q beda…
Q gak mau mengeluhkan semua yang ku jalani. Karena Q telah memilih profesi ini dengan kesadaranku sebagai seorang wanita. Karena Q sangat bangga menjalani profesi yang bagi kebanyakan orang adalah penjara bagi seorang perempuan. Karena hanya dengan ini kuletakkan harapanku tuk bisa mencium harum surgawi…

Bagiku, menjadi ibu sangatlah menyenangkan. Betapa tidak? Setiap hari adalah kesenangan. Bermain bersama anak-anakku, mempelajari hal-hal baru dan bahkan teramat menakjubkan menjadi pendamping pertumbuhan seorang anak. Dan barangkali seorang manager rumah tangga yang punya gaji tidak terbatas.

Kadang Q memang harus bekerja teramat keras untuk mengejar ketertinggalanku, sebab anak-anak tumbuh teramat cepat sedang otak yang kumiliki semakin tua dan lamban saja. Bahkan untuk belajar bermain skate board ku butuh waktu yang cukup lama, karena respon dan tingkat kebisaanku jauh lebih rendah dari anak-anakku.

Meski hanya bisa sedikit tapi Q rasa cukup jika hanya untuk memotivasi dan menemani mereka bermain. Setidaknya Q tak perlu mengeluarkan uang untuk pergi ke fitness center untuk melangsingkan badan. Namun Q harus tanggung resiko lecet atau teluka saat bermain, tapi tak masalah…

Q juga harus berlajar main play satation untuk bisa mendampingi mereka. Agar mereka tak perlu mencari teman (yang kadang bisa merugikan) yang bisa mengerti rasa dan keinginan mereka. Karena seorang ibu juga harus bisa jadi teman yang baik.

Dan untungnya Q hobby nonton film kartoon, jadi Q tak perlu merasa bosan ketika harus menghabiskan waktu di depan TV menemani mereka melihat film kartoon.

Tiap hari Q harus pelajari hal2 baru mengenai sesuatu yang sedang mereka gemari, musik, bacaan, acara TV, model baju dan sebagainya. Karena mereka Q jadi tahu ilmu psikologi, mekanik, bahasa Arab (yang dulu Q gak bisa blas), kesehatan, matematika (yang sangat Q benci) dan banyak hal.

Q juga harus meluangkan waktu bermain basket di hari minggu atau hanya sekedar berenang atau bersepeda di sore hari bersama mereka. Jalan-jalan di waktu senggang atau menemani mereka mengerjakan PR.

Sungguh tak ada yang membuatku terbatasi dengan menjadi seorang ibu. Karena kubisa belajar setiap saat, berpetualang, berexplorasi dan bermain-main. Hanya sesekali saja kuharus marah saat mereka tak bisa diajak berdiskusi dengan benar. Mereka ngotot dengan pendapat mereka sedang Q juga ngotot mempertahankan pendapatku sendiri. Jika sudah begitu …. biasanya suamiku yang menjadi penengah diantara kami. Dan semua berakhirlah dengan gembira, tertawa bersama.

Lalu adakah yang harus disesalkan dan dikeluhkan menjadi seorang ibu???

Aku adalah Seorang Ibu…

Aku hanyalah seorang ibu…
Aku bukanlah Ita yang bisa keliling dunia
Aku bukanlah Widya yang bisa bertemu para artis kapan saja
Aku bukanlah Anin atau Yuni yang bisa bekerja dibalik sebuah meja
Aku juga bukanlah Nisa yang pandai menulis karya Sastra

Aku hanyalah seorang ibu….
Yang setiap pagi musti siapkan sarapan pagi
Dan bekal sekolah untuk anak-anakku
Yang di siang hari musti menjemput mereka
Di sore hari harus mengantar mereka belajar mengaji
Dan menyiapkan senyum termanis
Untuk menyambut suamiku dari pulang bekerja

Aku hanyalah seorang ibu…
Yang hanya bisa melihat dunia
Lewat sepasang mata anak-anakku
Yang hanya bisa mendengar
Lewat suara tawa dan tangis mereka
Yang hanya bisa meraba
Lewat luka saat mereka jatuh dari sepeda

Aku hanyalah seorang ibu
Yang selalu bahagia melihat semua gembira
Yang selalu bersedih saat mereka terluka
Yang sesekali terbakar amarah
Saat tak bisa kendalikan emosi

Tapi aku sangat bahagia …
Serasa keliling dunia seperti Ita
Serasa bertemu para artis seperti Widya
Serasa bekerja dibalik meja seperti Anin atau Yuni
Dan serasa bisa menulis karya sastra seperti Nisa
Karena aku adalah seorang ibu…!!!

Saat Suamiku Ingin Dimengerti…

Memang sudah menjadi sifat suamiku yang pemalu, tertutup dan tak tega-an. Karena pemalu, dia tak pernah bisa mengekspresikan perasaan yang sesungguhnya. Begitu tertutup hingga tak bernah menceritakan masalah-masalah yang dia hadapi. Begitu tak tega-an hingga tak pernah mau membebaniku dengan keluh kesah ataupun rasa gundah, yang akhirnya akan membuatku sedih juga.

Tapi aku tahu semua itu, meski tak pernah dia katakan. Sebab aku terbiasa membaca bahasa tubuhnya. Seperti kali ini. Aku tahu dia sedang gundah tak terkira. Sebab suhu tubuhnya begitu panas. Urat-urat tubuhnya menegang, meski dia berusaha keras menahannya dengan tetap bercanda denganku dan anak-anak.

Saatnya aku harus mengorek sesuatu dari mulutnya. Sebab aku tahu jika dia tak mengeluarkan keresahan yang melandanya, pastinya dia akan sakit. Dan aku sungguh-sungguh tak mau itu terjadi.

Dengan memeluknya, aku bertanya,

“Emang di kantor ada masalah”

“Ya, sedikit…”

“Ooo begitu, boleh tahu?”

“Gak seberapa penting, sudahlah…”

Aku tak boleh menyerah…

“Kemarin ada yang mencarimu ke rumah…”

“Siapa?”

“Gak tau, tapi sepertinya penting banget…”

“Apa mungkin…”

“Mungkin apa…?”

Dengan perlahan dia bercerita masalah yang dia hadapi di kantor. Seseorang yang berusaha mengacau. Berusaha bersabar dan bersabar tak membuat semua masalah selesai. Hingga akhirnya terjadi pelaporan ke pihak yang berwajib. Bukan malah tenang, suamiku malah tegang. Sebab takutnya orang itu salah paham dan berfikir bahwa suamikulah yang melapor. Karena gelap mata, dikawatirkan orang itu bisa melukaiku, itu yang terfikirkan oleh suamiku.

“Sudahlah, papa gak usah khawatir. Jika memang sesuatu harus terjadi, kemanapun kita pergi atau bersembunyi, pastinya sesuatu itu tetap terjadi kan? Kita berserah diri dan memohon perlindungan Allah saja, bagaimana?”

“Sampean gak khawatir?”

“Tidak, bukankah ada Allah yang menjagaku dan papa disampingku. Lalu apa yang musti aku khawatirkan. Sudah tidurlah….!” Aku memeluknya dan berusaha menenangkannya dengan mengusap lembut punggungnya.

Ku paksa dia memejamkan mata dan berusaha membuatnya nyaman tidur dalam pelukanku. Perlahan tapi pasti urat syaraf yang semula menegang kini mulai mengendur. Alis matanya perlahan-lahan bergerak saling menjauhi, tak lagi mengerut seperti tadi. Aku tahu dia mulai tertidur.

Dan perlahan-lahan kurasakan tangan dan kakiku mulai kesemutan. Tapi aku harus bertahan, sebab satu gerakan kecil saja yang kubuat, pastinya dia akan terbangun. Bisa membuatnya terlelap selama 10 atau 15 menit saja sudah teramat-amat bagus. Sebab dia tak akan pernah lama tertidur jika harus istirahat disiang hari.

Sambil memandang wajahnya aku berfikir, betapa selama ini aku jarang memperhatikannya. Terlalu sibuk dengan urusanku sendiri, tugas-tugas kuliah, PR anak-anak, (tapi tidak pekerjaan rumahan, sebab aku tak pernah melakukan itu, kan ada pembantu he…he…!) kumpul ama teman-teman, arisan dan mungkin sedikit ikut pengajian.

Kesemutan sedikit yang kurasakan ini tak sebanding dengan rasa sayang yang dia berikan untukku. Jika hanya dengan ini aku bisa membuatnya tenang dan nyaman, pastinya aku ikhlas melakukannya. Suamiku tahukah kau, aku sayang padamu…!!!

Mas Kent dan Muhammadiyah…

Setiap selesai sholat berjamaah, aku suka mencium anak-anakku. Dan aku tahu sekarang mas Kent mulai tak menyukai itu. Apa karena dia malu atau merasa sudah besar sehingga risih dilihat keponakan-keponakanku yang lain. Aku juga tahu dia selalu mencari-cari alasan agar aku tidak perlu menciumnya lagi.

Dan kemaren adalah alasan yang paling lucu dan tak masuk akal yang kudapati.

“Mama itu kok gak ngerti-ngerti sih?”

“Ngerti apaan tho mas?”

“Mama mesti gitu deh…”

“Lho memang mama ngapain?”

“Mbah Kung aja yang NU ngerti tuh!”

Aku kaget, apa maksudnya? Memang apa hubungannnya dengan oragnisasi keagamaan?

“Mbah Kung tuh ngerti banget, kalo aku itu Muhammadiyah. Jadi tak pernah sekalipun mengganggu acara berdoaku setelah selesai sholat…!”

Alaamaak, kontan aja tawa kami semua meledak. Alasan yang tak masuk akal untuk menghindari ciumanku. Lagian bagaimana bisa dia bisa berfikir seperti itu? Apa yang dia tahu tentang organisasi keagamaan? Apa yang dia pahami tentang NU dan Muhammadiyah? Sungguh aku tak pernah habis pikir, akhirnya…

“Memang mas Kent Muhammadiyah?”

“Ya iyalah, kan aku sekolah di sana!” Dengan penuh keyakinan dia menjawab semua itu. Oooh, itu yang dia tahu.

“Jika mas Kent Muhammadiyah, trus mama apa dong!”

“Lha mama juga kan?”

Aku hanya bisa tersenyum dan kucium dia sekali lagi.

Duhai anakku, mama tak tahu harus bangga atau malu denganmu. Sebab mama tak pernah mau terlibat dalam hal-hal seperti itu. Mama hanya tahu Islam dan tak paham akan organisasi di dalamnya. Mama hanya merasa nyaman seperti ini. Ya…tidak menjadi apa-apa atau bagian dari satu organsasipun. Mama adalah orang bebas dan selamanya ingin terbebas dari semua keruwetan yang ditimbulkan dari berorganisasi.

Bukan mama tak mau bersosialisasi atau bermasyarakat. Mama hanya ingin membesarkanmu jauh dari politik yang mengerikan. Mama tahu dan yakin, meski mama tak bergabung dalam suatu organisasi, mama tetap bisa berjuang dan tetap bermanfaat bagi orang lain. Mama juga tetap bisa ber-Islam dengan benar, selama mama tak pernah jauh-jauh dari Al-Quran dan Al-Hadist.

Sayangku, mama sungguh-sungguh takut jika mama berorganisasi, mama akan menghakimi orang lain. Memandang salah terhadap apa yang dilakukan orang lain. Berusaha mengklaim diri mama dan organisasi mama yang paling benar. Mama sungguh tak mau itu.

Biarlah mama tetap begini. Menemanimu dan menjagamu dari sini, dari dalam rumah mama sendiri. Sebab rumah mama memiliki banyak jendela. Dan dari jendela manapun mama masih bisa melihat dunia dan dirimu. Biarkan mama tetap disini, sayangku…..

Duhai Allah, berkahilah dia dengan ilmu yang bermanfaat. Hingga bisa dia gunakan utuk kemaslahatan umat. Jagalah dia dari ilmu yang akan menyesatkannya. Terangilah selalu hatinya dengan cahaya-Mu agar jalan yang ditempuhnya menjadi jalan yang terang benderang. Amiiin…..

Naik Kereta ke Jakarta

Sunguh tak mengenakkan terjebak banjir. Kereta tak berjalan hanya diam di tempat. Aduh semarang, kenapa kau harus banjir? Jam brapa akan tiba di Jakarta jika macet seperti ini. Aku bosan, capek dan tak bisa tidur. Akhirnya, aku hanya menulis ini dari ponselku. Wooii, Jakarta, teman-teman tunggu aku! Nanti jangan sambut aku dengan banjirmu. Aku sudah capek…